Jumat, 01 Februari 2013

sejarah kerajaan Sunda

Kerajaan Sunda terletak di daerah Jawa Barat sekarang. Tak dapat dipastikan dimana pusat kerajaan ini sesungguhnya. Berdasarkan sumber sejarah berupa prasasti dan naskah-naskah berbahasa Sunda Kuno dikatakan bahwa pusat kerajaan Sunda telah mengalami beberapa perpindahan. Menurut Kitab Carita Parahyangan, Ibukota kerajaan Sunda mula-mula di Galuh, kemudian menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di tepi sungai Cicatih, Cibadak Sukabumi, Isi dari prasasti itu tentang pembuatan daerah terlarang di sungai itu yang ditandai dengan batu besar di bagian hulu dan hilirnya. Oleh Raja Sri Jayabhupati penguasa kerajaan Sunda. Di daerah larangan itu orang tidak boleh menangkap ikan dan hewan yang hidup di sungai itu. tujuannya mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan (agar ikan dan lain-lainnya tidak punah) siapa yang berani melanggar larangan itu, ia akan dikutuk oleh dewa-dewa.
Kerajaan Sunda beribu kota di Parahyangan Sunda. Sementara itu menurut prasasti Astana Gede (Kawali – Ciamis) ibu kota kerajaan Sunda berada di Pakwan Pajajaran. Mengenai perpindahan kerajaan ini tak diketahui alasannya. Akan tetapi, hal-hal yang bersifat ekonomi, keamanan, politik, atau bencana alam lazim menjadi alasan perpindahan pusat ibu kota suatu kerajaan.
Kerajaan Sunda menguasai daerah Jawa Barat untuk waktu yang lama, diantara rajanya, yang terkenal adalah Jaya Bhupati dan Sri Baduga Maharaja.
Jayabhupati
Sebenarnya nama Sunda pernah disebut didalam prasasti yang temukan di desa Kebon Kopi Bogor. Prasasti itu berangka tahun 854. Prasasti itu ditulis dengan bahasa Melayu Kuno, isinya tentang seorang Rakrayan Juru Pengambat yang memulihkan raja Sunda. Sumber kesusastraan yang sampai kepada kita adalah Carita Parahyangan (dari akhir abad ke-16) kitab lain yang juga menyebut kerajaan Sunda adalah Kitab “Siksa Kandang Karesia” (1518), berita Cina dari masa Dinasti Ming menyebut adanya kerajaan Sunda.
Didalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa kerajaan itu memerintah seorang raja bernama Sanjaya. Tokoh itu dikenal juga dalam prasasti Canggal dari Jawa Tengah. Dalam kitab Carita Parahyangan disebutkan bahwa Raja Sanjaya menggantikan raja Sena yang berkuasa di Kerajaan Galuh. Kekuasaan raja Sena kemudian direbut oleh Rahyang Purbasora, Saudara seibu raja Sena. Sena sendiri menyingkir ke gunung Merapi bersama keluarganya. Setelah dewasa, Sanjaya berkuasa di Jawa Tengah. Ia berhasil merebut kembali kerajaan Galuh dari tangan Purbasora. Kerajaan kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sunda.
Setelah masa pemerintahan JayaBhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di kerajaan Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka.
Prabu Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah Bubat pada tahun 1354. dalam pertempuran itu raja Sunda bersama-sama para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan pengiringnya membuat raja Majapahit yaitu Hayam Wuruk, marah besar kepada Gajah Mada, lalu Gajah Mada dipecat dari jabatannya.
Sri Baduga Majaraja
Ia adalah putra dari Ningrat Kancana. Sri Baduga merupakan raja yang besar. Ia membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia memerintahkan membangun parit di sekeliling ibukota kerajaannya yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu sehingga kerajaan menjadi aman dan tenteram. Keterangan tentang Raja Sri Baduga dapat kita jumpai dalam prasasti Batutulis yang ditemukan di Bogor.

kolenyangsang kampung Cikondang

Sejarah Wayang Golek (Jawa Barat)

1. Asal-usul
Asal mula wayang golek tidak diketahui secara jelas karena tidak ada keterangan lengkap, baik tertulis maupun lisan. Kehadiran wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari. Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun 'wayang purwo' sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukkannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini tidak memerlukan kelir. Bentuknya menyerupai boneka yang terbuat dari kayu (bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit). Jadi, seperti golek. Oleh karena itu, disebut sebagai wayang golek.

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650)). Di sana (di daerah Cirebon) disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).

Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

2. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu: wayang golek cepak, wayang golek purwa, dan wayang golek modern. Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon. Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda sebagai. Sedangkan, wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar tahun 1970--1980.

3. Pembuatan
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.

4. Nilai Budaya
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat". Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut: Satu: Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya. Dua: Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi con-toh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku. Tiga: Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat. Empat: Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah. Lima: Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat. Enam: Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa. Tujuh: Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

Sumber:
Nisfiyanti, Yanti. 2005. “Wayang Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda” (Laporan Hasil Penelitian)

Selasa, 29 Januari 2013

Memahami Filosofi “IKET” dalam Budaya Sunda

Pernah menyaksikan pagelaran wayang golek dalam budaya sunda? Didalamnya selalu dihiasi dengan kejenakaan 3 tokoh punakawan. Sebutlah cepot, dawala dan gareng. Cepot merupakan tokoh yang paling terkenal diantara ketiganya. Dan merupakan ciri khas dari Cepot adalah kulit berwarna merah, gigi tonggos dan tak lupa selalu menggunakan tutup kepala yang disebut sebagai iket.
Iket dalam budaya sunda memiliki filosofi tersendiri, disebut Makutawangsa :
sing saha bae anu make iket ieu, maka dirina kudu ngalakonkeun PANCADHARMA….
artinya : “barang siapa yang menggunakan iket ini, harus menjalankan PANCADHARMA…
Hukum PANCADHARMA :
  1. Apal jeung hormat ka PURWADAKSI DIRI (Menyadari dan menghormat kepada asal usul diri).

  2. Tunduk kana HUKUM jeung ATURAN (Tunduk akan hukum dan tata tertib/aturan).

  3. Berilmu (DILARANG BODOH..!)

  4. Mengagungkan SANG HYANG TUNGGAL (Sang pencipta, Tuhan).

  5. Berbakti kepada BANGSA dan NEGARA.

Filosofi iket sunda
Digambarkan tahapan iket Makutawangsa. Pada tahap pertama disebut OPAT KA LIMA PANCER, dapat juga diartikan diri menyatu dengan unsur-unsur utama alam: Angin, Cai (Air), Taneuh (Tanah) dan Seuneu (Api). Kemudian segiempat tadi dilipat menjadi bentuk segitiga yang merupakan refleksi Diri, Bumi dan Negeri. Refleksi ini dikenal dengan sebutan TRITANGTU dalam falsafah sunda. Kemudian lakukan lipatan sebanyak lima kali, disebut sebagai PANCANITI.
  1. Niti Harti (Tahap mengerti)

  2. Niti Surti (Taham memahami).

  3. Niti Bukti (Tahap membuktikan).

  4. Niti Bakti (Tahap membaktikan).

  5. Niti Jati (Tahap kesejatian, manunggal dengan sang pencipta)
Gambar berikutnya disebut SANG HYANG TUNGGAL merupakan refleksi dari sang pencipta. Dan gambar terakhir adalah gambar iket yang sudah jadi menempel di kepala. Lungguh pada gambar terakhir adalah refleksi patuh pada sang pencipta.
Filosofi diatas adalah pemahaman pribadi mengenai filosofi iket sunda.
Budaya mengalami perkembangan. Termasuk dalam jenis-jenis iket sendiri. Adalah Mochamad Asep Hadian Adipraja, saya sebut sebagai seorang pemerhati iket sunda. Saya mengenal Kang Asep dari seorang teman yang gemar dengan kebudayaan sunda. Dan sampai saat ini Kang Asep masih mengumpulkan rupa-rupa iket yang ada di Nusantara. Kang Asep dalam blognya pulasaraiket menganalisa bahwa iket dapat digolongkan menjadi dua model utama :
  1. Rupa Iket Buhun; adalah rupa iket yang sudah terdapat di kampung-kampung adat, dan sudah menjadi pola kebiasaan sehari-hari dalam penggunaannya tanpa tercampur oleh budaya atau elemen dari luar.

  2. Rupa Iket Reka-an; adalah rupa iket hasil karya dari pribadi dengan kreasi yang disukainya, namun pada prinsipnya adalah tetap menggunakan kain segiempat.
Berikut adalah rupa iket yang berhasil dikumpulkan :
RUPA IKET BUHUN
Parekos Jéngkol; Parekos Nangka; Barangbang Semplak; Julang Ngapak; Koncér; Kuda Ngencar; Lohen; Kebo Modol; Kolé Nyangsang; Buaya Ngangsar; Porténg; Parekos Gedang ( Kampung Ciptagelar ); Ki Parana ( Kampung Ciptagelar ); Udeng ( Kampung Ciptagelar ); Pa’tua ( Kampung Ciptagelar ); Babarengkos ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Ciptagelar 1 ( Kampung Ciptagelar ); Iket Adat Kampung Naga 1; Iket Adat Kampung Naga 2; Iket Adat Kampung Dukuh; Iket Adat Kampung Cikondang 1; Iket Adat Rancakalong;
RUPA IKET RÈKA-AN
Parékos Candra Sumirat; Parékos Maung Leumpang; Parékos Batu Amparan; Parékos Dua Adegan; Parékos KiPahare; Kujang Dua Papasangan; Parékos Jeulit Danas.

Senin, 28 Januari 2013

Seren Taun Aset Budaya Sunda

Acara adat Sunda Seren Taun, merupakan sebuah gelaran tradisi budaya leluhur Sunda Kuningan yang harus dilestarikan. Upacara Adat Seren Taun digelar setiap 22 Rayagung tiap tahunnya sebagai bentuk rasa syukur masyarakat agraris dengan simbol penumbukan padi oleh para sesepuh dan ratusan masyarakat adat.
Pada puncak acara yang digelar di Komplek Paseban Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat, Sabtu (19/11) bertepatan dengan tahun 1944 Saka Sunda, tampak ribuan masyarakat yang berasal dari wilayah lokal Kuningan, lintas daerah Provinsi Jawa Barat dan juga dari berbagai daerah dari luar Jawa Barat. Bahkan, tampak pula beberapa wisatawan manca Negara yang turut meramaikan puncak acara seren taun tersebut.
Wakil Ketua Komisi B DPRD Kuningan, Oyo Sukarya kepada Kuningan News mengatakan. Budaya Seren Taun yang dimiliki masyarakat Kuningan merupakan salah satu aset daerah yang multifungsi. Untuk mempertahankan budaya ini, Pemkab Kuningan sudah semestinya dapat lebih pro aktif dalam mempromosikan aset budaya sunda ini ke berbagai daerah di Indonesia dan juga ke mancanegara.
“Selain itu, melalui acara seren taun ini, Pemkab Kuningan harus dapat melakukan berbagai sentuhan budaya dalam bentuk kemasan seni. Hal itu bisa saja dilakukan oleh Pemkab Kuningan, dengan tidak mengurangi makna dari filosofis Seren Taun itu sendiri,”timpalnya.
Terpisah, pemerhati sejarah Kuningan, Syarif Juanda mengaku sangat bangga atas dilestarikannya tradisi Seren Tahun sebagai asset budaya lokal di Kuningan. “Saya piker, ini harus dilestarikan. Namun, alangkah lebih baiknya lagi jika kita pikirkan lagi tentang sejarah peradabannya. Kita harus menggali dan mengkaji lebih jauh, siapa yang melahirkan budaya seren taun ini,”sarannya.
Dikatakan Syarif, saat ini sudah waktunya sejarah kebesaran leluhur Kuningan diangkat kembali ke publik. Sebab, kebudayaan itu bisa terlahir dari sebuah peradaban. Jangan sampai ada pengecilan kembali nama Kuningan. “Seren Taun ini budaya kita sendiri yang patut dipertahankan. Ingat, pewayangan juga berasal dari Kuningan. Untuk itu, mari kita sama-sama renungkan ada apa sebenarnya di Kuningan ini,”tandasnya. (muh)

sejarah pencak silat Jawa Barat

Berdasarkan alirannya, beladiri Pencak Silat yang ada di Jawa Barat dibagi berdasarkan beberapa aliran. Diantaranya Cimande, Cikalong, Syahbandar dan beberapa aliran lainnya lagi.
Pencak Silat Cimande untuk pertamakalinya disebarkan oleh Sakir penduduk Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur. Sakir adalah salah seorang tokoh Pencak Silat, serta ilmu kebatinan Sakir dikenal ?luhung elmu?nya. Karenanya, Sakir sangat disegani masyarakat. Penduduk setempat menganggap Sakir sebagai orang tua mereka sendiri.
Banyak pula muridnya yang sengaja belajar Pencak Silat. Pada saat itu yang memerintah Kabupaten Cianjur ialah Bupati R. Aria Wiratanudatar II sebagai Bupati yang ke V dari keturunannya. R. Aria Wiratanudatar II juga dikenal dengan sebutan Dalem Enoh, memerintah Kabupaten Cianjur antara tahun 1776-1813. Setelah diketahui Dalem, diangkatlah Sakir menjadi guru Pencak Silat dan keamanan di Kabupaten. Diantara muridnya yang termashur ialah putra dalem Enoh yang bernama R. Wiranaga yang mendapat julukan Aria Cikalong.
Menurut para ahli sejarah di Kabupaten Cianjur, selain R. Wiranagara terdapat pula R. Obing Ibrahim dan R. Haji Ipung Prawirasudibja. Merekalah yang menerangkan, bahwa pada tahun 1780 Sakir pernah dicoba kemahirannya dalam Pencak Silat dengan orang Cina dari Macao bertempat dialun-alun Cianjur dan pada kesempatan itu Sakir yang menang.
Pada tanggal 2 April 1812 R. Aria Wiratanudatar II atau lebih dikenal dengan nama R. Enoh meninggal dunia. Beliau meninggalkan 3 orang putra yakni : Aria Wiranagara yang lebih dikenal dengan nama Aria Cikalong, R. Natanagara yang setelah menunaikan Ibadah Haji lebih dikenal dengan nama R. Haji Muhamad Tobri dan Aom Abas yang kemudian menjadi Bupati Limbangan.
Untuk selanjutnya, Sakir dibawa pindah oleh R. Aria Natanagara ke Bogor. Oleh Bupati Bogor Sakir diangkat menjadi pengawal Bupati. Selama Sakir mengabdi pada Bupati Bogor, beliau bertempat tinggal di Cimande (Kabupaten Cianjur). Karena itulah Pencak Silat yang diajarkan dan disebarkan oleh Sakir disebut Pencak Cimande.
Menurut cacatat yang diperoleh, tersebarnya Pencak Cimande di Cianjur hanya sampai tahun 1813. Namun kemudian pada tahun 1819, pencak Cimande ini tersebar di Cianjur sebelah Selatan. Penyebaran Pencak Cimande ini dilakukan oleh putra-putra dan murid-muridnya Sakir. Mereka menyebar ke daerah Cianjur sebelah Selatan dan Garut Selatan khususnya di daerah-daerah perkebunan sebagai sasaran operasionalnya. Hal ini berlangsung sampai tahun 1930. Setelah penyebaran Pencak Cimande, disusul pula dengan Pencak Cikalong dan Syahbandar yang disebarkan oleh para putra dan murid R. Haji Ibrahim dari Cikalong.
Adapun yang menciptakan serta mengkreasikan Pencak Cikalong adalah . R. Haji Ibrahim turunan ke 9 dari Dalem Cikundul, Majalaya Kecamatan Cikalong Kulon. Ayahnya adalah R. Rajadireja, yang lebih dikenal sebagai Aom Raja, dan kakeknya adalah R. Wiranagara yang lazim disebut Aria Cikalong.
R. Haji Ibrahim dilahirkan pada tahun 1816. Keahlian dalam Pencak Silat diperolehnya pula dari leluhur kakeknya yang merupakan murid terpandai dari Sakir.
R. Haji Ibrahim mulai belajar Pencak dari R. Ateng Alimudin seorang putra Tubagus Kosim, yang merupakan keturunan ke 13 dari Sultan Hasanudin (Banten). R. Alimudin menikah dengan R. Siti Hadijah, ipar dari R. Haji Ibrahim. Sebenarnya R. Haji Ibrahim bukan hanya berguru kepada R. Ateng Alimudin saja, tetapi dalam melengkapi pengetahuannya tentang Pencak, R. Haji Ibrahim berguru pula pada Abang Ma’rup, Abang Madi, Abang Kari dan beberapa pendekar Pencak Silat lainnya.
Menurut catatan R. Haji Ibrahim meninggal dunia pada tahun 1906 dalam usia 90 tahun.
Menurut R. Obing Ibrahim salah seorang murid R. Haji Ibrahim, yang seolah olah bersembunyi agar tidak diketahui umum. Ada keistimewaan lainnya yang dimiliki oleh R. Haji Ibrahim yakni beliau tidak mau dibayar hasil jerih payahnya mengajar. Namun ajaran Pencak Cikalong hanya diberikan kepada orang-orang terbatas yang benar-benar melaksanakan persyaratannya, yakni taat dan taqwa kepada guru, taat dan taqwa kepad ratu, dalam hal ini pemerintah, taat dan taqwa kepada ayah dan ibu, taat dan taqwa kepada agama.
Disamping sebagai syarat mutlak bagi para murid Pencak Cikalong, diusahakan agar para muridnya tidak hidup sendiri-sendiri, tidak ditunggangi rasa kontradiksi dan merasa lebih tinggi daripadaa golongan lainnya. Syarat lainnya, ialah bahwa setiap muridnya harus menginsafinya, bahwa Pencak Silat yang lahir dan berkembang di Jawa Barat, masih merupakan satu sumber dan satu saluran dari yang pertama.
sumber : www.tadjimalela.netfirms.com
www.silatindonesia.com

kecapi suling